Diakonia
Kisah Para Rasul 4 : 32 – 37
"Aku menjumpai Yesus Kristus dalam sesamaku..... aku harus
melayaninya seolah-olah dia adalah Yesus Kristus. Aku juga harus melayaninya seolah-olah aku adalah Yesus Kristus. Sebenarnya diakonia
gereja adalah pelayanan Yesus Kristus kepada Yesus Kristus."
Toyohiko Kagawa (1888), seorang pendeta asal Jepang, pernah berkata; dosa terbesar gereja adalah tidak berbuat sesuatu untuk memperbaiki kehidupan saudaranya yang miskin, karena terlalu sibuk membangun gedung gereja yang besar dan mewah. Padahal Yesus lahir di palungan yang kumuh dan disalibkan bersama para pemberontak di Golgota.
Kritik Kagawa secara tidak langsung, terarah juga kepada gereja masa kini, di sini.
Karena ada kecenderungan gereja lebih banyak menguras energi dan dana untuk pembangunan
tempat ibadah megah, tanpa memberi
perhatian pada angka kemiskinan disekitarnya yang terus meningkat.
Gereja dalam kehadirannya di dunia, dengan tanpa mengabaikan tugas pokok yang
lain, idealnya harus banyak memberi perhatian terhadap pelayanan (Yun.
diakonia) orang miskin, baik dilingkungannya
sendiri, maupun terhadap masyarakat
secara umum. Hal ini sejalan dengan
anjuran Paulus Kepada Jemaat di Galatia, “Karena
itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada
semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Gal. 6:10).
Berbuat baik adalah ciri orang beriman. Dalam
surat Yakobus, penulis menghubungkan iman dengan perbuatan. Iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak.2:17). Tidak
ada gunanya kita berkata : "Selamat
jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia
tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?
(Yak. 2:16).
Gustavo Gutierrez,
seorang teolog asal Amerika Latin, menulis bahwa masalah kemiskinan harus
dihadapi oleh orang Kristen dengan jalan solidaritas, yakni suatu ungkapan
kasih bersama orang miskin. Solidaritas seperti itu nampak pada pola hidup jemaat
Kristen mula-mula, seperti yang diceritakan Lukas dalam Kis. 4: 32-37.
Diceritakan pada bagian Alkitab ini, karena termotivasi oleh kesaksian para rasul tentang karya
keselamatan Kristus, Jemaat yang baru melembaga itu langsung diliputi rasa kebersamaan yang tinggi. Mereka sehati
sejiwa (ay. 32), yang diwujudkan dalam
pelayanan kasih.
Tiap orang yang berkelebihan, menjual hartanya, baik rumah
maupun tanah , untuk menopang pelayanan dan membantu atau menutupi memiskinan
yang dialami saudaranya. Yang tujuannya ialah “sehingga
tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka” (ay.34).
Mungkin ada yang bertanya , relevankah gaya hidup jemaat mula-mula untuk konteks masa
kini? Jawabannya ya! Pola itu masih relevan. Hanya perlu digaris bawahi, kita
tidak perlu meniru contoh Jemaat di Yerusalem itu secara kaku. Pola mereka
bukan hukum yang sifatnya wajib. Pola itu timbul dari persatuan dan kasih
mereka dalam Yesus Kristus. “Mereka
sehati sejiwa”.
Gereja yang ‘sehati
sejiwa’, akan berusaha melepaskan
belenggu yang memisahkan antara yang kaya
dan miskin. Gereja yang anggotanya ‘sehati sejiwa’ akan memaksimalkan pelayanan (diakonia) terhadap
sesama.
Kita mengenal tiga
bentuk diakonia;
1.
Diakonia Karitatif.
Diakonia bentuk ini biasanya digambarkan dengan
berbelas kasih, ibarat memberi
sepotong ikan kepada yang lapar supaya
bisa langsung dimakan. Diakonia
ini terkadang menjadi satu-satunya program gereja, yakni memberi sembako atau
pengobatan gratis saat Natal dan Paskah kepada janda miskin, anak yatim piatu
dan tahanan. Meski dibutuhkan, diakonia ini sebenarnya belum mampu menolong orang miskin.
Diakonia ini
digambarkan menolong orang lapar
dengan memberi alat pancing (bantuan modal) dan mengajar memancing (bantuan
tekonologi) supaya bisa mengusahakan ikan untuk dimakan. Diakonia ini
penting, karena membantu orang miskin untuk
menolong dirinya sendiri. Namun ada kendala dengan diakonia ini, yakni
bagaimana jika sungai atau laut, tempat
untuk menangkap ikan telah dicemari limbah atau telah dipatok oleh perusahaan?
3. Diakonia Transformatif
Diakonia transformatif merupakan jawaban untuk pertanyaan
tadi. Diakonia transformatif bisa disebut sebagai diakonia pembebasan. Rakyat
kecil yang haknya dirampas (nelayan yang
sulit memancing), yang buta hukum dan
yang kehilangan semangat berjuang perlu dilayani. Yakni menyadarkan hak-hak mereka dan
memberdayakan. Diakonia ini mendorong
dan memberi semangat kepada orang miskin untuk percaya pada diri sendiri.
Ketiga bentuk diakonia ini, sepatutnya diperjuangkan dan
diusahakan gereja. Sebab gereja
hadir untuk menyatakan syalom (damai
sejahtera), baik untuk orang kaya dan terutama orang miskin. Kemiskinan jangan
hanya didialogkan, tetapi
dikerjakan.
Tuhan Yesus kepada para murid mengamanatkan agar mereka
memberi perhatian kepada yang miskin.
Matius 25:40 berkata “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala
sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina
ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.
Mari kita simak ungkapan DT. Niles, Teolog terkenal dari
Sri Langka ini : Aku menjumpai Yesus Kristus dalam sesamaku…. . aku harus
melayaninya seolah-olah dia adalah Yesus Kristus. Aku juga harus melayaninya seolah-olah aku adalah Yesus Kristus. Sebenarnya diakonia
gereja adalah pelayanan Yesus Kristus kepada Yesus Kristus. Dalam diakonia itu
gereja ikut serta dalam dunia. Amin. (Stenli Lalamentik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar