Jumat, 19 Juni 2015

DIAKONIA




Diakonia

Kisah Para Rasul 4 : 32 – 37



"Aku menjumpai Yesus Kristus dalam sesamaku..... aku harus melayaninya seolah-olah dia adalah Yesus Kristus.  Aku juga harus melayaninya seolah-olah aku  adalah Yesus Kristus. Sebenarnya diakonia gereja adalah pelayanan Yesus Kristus kepada Yesus Kristus."




Toyohiko Kagawa (1888), seorang pendeta asal Jepang, pernah  berkata;  dosa terbesar gereja adalah tidak berbuat sesuatu untuk memperbaiki kehidupan saudaranya yang miskin,  karena  terlalu sibuk  membangun gedung gereja yang besar dan mewah.  Padahal  Yesus lahir di palungan yang kumuh dan disalibkan bersama para pemberontak di Golgota.
Kritik Kagawa  secara tidak langsung,  terarah juga kepada gereja  masa kini,  di sini. 
Karena ada kecenderungan gereja lebih  banyak menguras energi dan dana untuk  pembangunan  tempat ibadah  megah, tanpa memberi perhatian  pada  angka kemiskinan  disekitarnya yang terus meningkat. 

Gereja dalam kehadirannya di dunia,  dengan tanpa mengabaikan tugas pokok yang lain, idealnya harus banyak memberi perhatian terhadap pelayanan (Yun. diakonia) orang miskin, baik  dilingkungannya sendiri,  maupun terhadap masyarakat secara umum.  Hal ini sejalan dengan anjuran Paulus Kepada Jemaat di Galatia,  “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Gal. 6:10).   
Berbuat baik adalah ciri orang beriman.   Dalam surat Yakobus, penulis menghubungkan iman dengan perbuatan.  Iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak.2:17). Tidak ada gunanya kita berkata : "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? (Yak. 2:16).  

Gustavo Gutierrez, seorang teolog asal Amerika Latin, menulis bahwa masalah kemiskinan harus dihadapi oleh orang Kristen dengan jalan solidaritas, yakni suatu ungkapan kasih bersama orang miskin. Solidaritas  seperti itu nampak pada pola hidup jemaat Kristen mula-mula, seperti yang diceritakan Lukas dalam  Kis. 4: 32-37.  
Diceritakan pada bagian Alkitab ini, karena termotivasi  oleh kesaksian para rasul tentang karya keselamatan Kristus, Jemaat yang baru melembaga itu   langsung diliputi  rasa kebersamaan yang tinggi. Mereka sehati sejiwa (ay. 32),  yang diwujudkan dalam pelayanan kasih.
Tiap orang yang berkelebihan, menjual hartanya, baik rumah maupun tanah , untuk menopang pelayanan dan membantu atau menutupi memiskinan yang dialami  saudaranya.   Yang tujuannya ialah  “sehingga tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka”  (ay.34).  

Mungkin ada yang bertanya , relevankah  gaya hidup jemaat mula-mula untuk konteks masa kini? Jawabannya ya! Pola itu masih relevan. Hanya perlu digaris bawahi, kita tidak perlu meniru contoh Jemaat di Yerusalem itu secara kaku. Pola mereka bukan hukum yang sifatnya wajib. Pola itu timbul dari persatuan dan kasih mereka dalam Yesus Kristus. “Mereka sehati sejiwa”. 

 Gereja yang ‘sehati sejiwa’, akan  berusaha melepaskan belenggu yang memisahkan  antara yang kaya dan miskin. Gereja yang anggotanya ‘sehati sejiwa’ akan  memaksimalkan pelayanan (diakonia) terhadap sesama.  
 Kita mengenal tiga bentuk diakonia; 


           1. Diakonia Karitatif.
Diakonia bentuk ini biasanya digambarkan dengan berbelas  kasih, ibarat   memberi sepotong ikan kepada yang lapar supaya  bisa  langsung dimakan. Diakonia ini terkadang menjadi satu-satunya program gereja, yakni memberi sembako atau pengobatan gratis saat Natal dan Paskah kepada janda miskin, anak yatim piatu dan tahanan.  Meski dibutuhkan,  diakonia ini sebenarnya belum  mampu menolong orang miskin. 

          2. Diakonia  Reformatif (Pembangunan) 
Diakonia ini  digambarkan  menolong orang lapar dengan memberi alat pancing (bantuan modal) dan mengajar memancing (bantuan tekonologi)  supaya bisa  mengusahakan ikan untuk dimakan. Diakonia ini penting, karena membantu orang miskin  untuk menolong dirinya sendiri. Namun ada kendala dengan diakonia ini, yakni bagaimana jika sungai  atau laut, tempat untuk menangkap ikan telah dicemari  limbah  atau telah dipatok oleh perusahaan?
  
3. Diakonia Transformatif
             Diakonia transformatif merupakan jawaban untuk pertanyaan tadi. Diakonia transformatif  bisa disebut  sebagai diakonia pembebasan. Rakyat kecil  yang haknya dirampas (nelayan yang sulit memancing), yang buta hukum  dan yang  kehilangan  semangat berjuang perlu  dilayani. Yakni  menyadarkan hak-hak mereka dan memberdayakan.  Diakonia ini mendorong dan memberi semangat kepada orang miskin untuk percaya pada diri sendiri.
           
Ketiga bentuk diakonia ini, sepatutnya diperjuangkan dan diusahakan  gereja. Sebab gereja hadir  untuk menyatakan syalom (damai sejahtera), baik untuk orang kaya dan terutama orang miskin. Kemiskinan jangan hanya didialogkan, tetapi  dikerjakan. 
Tuhan Yesus kepada para murid mengamanatkan agar mereka memberi perhatian kepada yang miskin.  Matius 25:40 berkata Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.

Mari kita simak ungkapan DT. Niles, Teolog terkenal dari Sri Langka ini : Aku menjumpai Yesus Kristus dalam sesamaku…. . aku harus melayaninya seolah-olah dia adalah Yesus Kristus.  Aku juga harus melayaninya seolah-olah aku  adalah Yesus Kristus. Sebenarnya diakonia gereja adalah pelayanan Yesus Kristus kepada Yesus Kristus. Dalam diakonia itu gereja ikut serta dalam dunia.  Amin.  (Stenli Lalamentik)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar