Kamis, 18 Juni 2015

98 Fak. Teologi UKIT Tomohon (Renungan)





 DARI PARADISE KE EDEN 

(Untuk Teman-Teman Angkatan 98 Fak. Teol. UKIT Tomohon) 

Editor buku  renungan ini, Bung Denny Pinontoan,  berharap  setiap renungan yang ditulis  harus original, asli  karya sendiri. Karenanya  pertama-tama saya mohon maaf, sebab judul renungan ini  sama sekali tidak original. Tepatnya dikutip dari  sebuah buku yang pernah diterbitkan tahun 2002 silam, yang  judulnya  persis  sama ‘Dari Paradise ke Eden’.  Saya memberanikan diri mengutip, karena dua  alasan. Pertama,  buku itu tidak terkenal, sebab hanya dicetak satu exlempar. Bahkan saya sendiri  lupa,  sumbangan tulisan saya di buku itu  seperti apa.   Kedua, karena saya,  editor  dan beberapa penulis buku renungan ini, adalah orang-orang yang menulis buku tidak terkenal itu. 
 Kepada pembaca saya juga minta maaf, karena judul renungan ‘Dari Paradise ke Eden’ ini tidak bermaksud membuat semacam uraian tafsiran singkat  yang diambil dari kitab Kejadian sampai Wahyu. Sama sekali tidak.  Karena jika mau menafsir seperti itu, judulnya harus dibalik, ‘Dari Eden ke Paradise’. Lagi pula, sekali lagi, mungkin editornya  akan tidak setuju (editornya agak galak), sebab sesingkat-singkatnya tafsiran dari Kitab Kejadian-Wahyu, pasti membutuhkan halaman yang banyak. Mau bukti?  Silakan tanya  mahasiswa Teologi UKIT Angkatan Tahun 1998. Sebagian besar mereka pernah ditugaskan oleh para dosen, untuk membuat ringkasan Alkitab yang ditulis tangan.  
Meski buku ‘Dari Paradise ke Eden’ tidak terkenal, tapi buku ini istimewa dan akan selalu  dikenang.  Buku itu  sengaja dibuat  untuk didedikasikan kepada seorang sahabat yang telah meninggal  karena sebuah peristiwa kecelakaan maut di Tomohon.  Dengan penuh rasa hormat dan bangga  saya  menulis nama beliau,  Feliks A.N. Manua, meninggal tanggal 06 September 2002 (tanggal yang sama saat saya mulai menulis renungan ini, 06/09/2012).
Melewati hari bersama Feliks di kampus dan tempat kost, sungguh merupakan kebanggaan bagi para sahabat. Karenanya selain melalui air mata, buku itu turut menjadi ‘curahan hati’ betapa waktu itu kami sangat  berduka. 
Soal judul buku kenapa ‘Dari Paradise ke Eden’?  Sebenarnya kata Paradise dan Eden diambil dari dua nama tempat kost, (pemondokan, itu istilah kami) yakni Paradise di kompleks Bukit Inspirasi Tomohon dan Eden yang terletak, dibawah Kampus UKIT Bersinar (Bersih, Bersiman dan Bernalar).  Dipilihnya Paradise dan Eden, karena yang satu mewakili tempat kost pria dan yang satunya tempat kost perempuan. Mewakili berarti, ada banyak tempat kost yang dihuni mahasiswa khususnya angkatan 1998, seperti Ekklesia, Bahtera, Ekkletos, Pondok Daun, Partenos, Pondok Indah, Titanic dan sebagainya. Jadi pemilihan Paradise dan Eden sifatnya tidak eksklusif, tapi sekedar mewakili. Para penulis buku ‘Dari Paradise Ke Eden’ ada juga yang bukan tinggal di tempat kost ini.
Persahabatan dengan Feliks memang isitmewa. Dia mampu  memecahkan tawa, ketika suasana sedemikian sunyi, karena dia memang seorang humoris sejati. Dia tidak gampang marah meski diejek dalam berbagai cara.  Sifatnya yang ramah dan mudah bergaul membuat ia cepat akrab dengan siapa saja, karenanya waktu meninggal pun ia turut di ibadatkan secara Katolik oleh beberapa Frater (Mahasiswa STF Pineleng) sebagai wujud persahabatan dan rasa hormat. Dia  bersedia memberi diri menjadi Ketua Panitia Ibadah Natal Yesus Kristus, di tempat kost, disaat rekan-rekannya (termasuk saya  enggan  dan malas menerima tanggung jawab itu).  Dia  juga mau  menjadi ketua panitia Ospek saat penerimaan  mahasiswa baru di kampus.  
Sebagai seorang yang memiliki cita-cita besar, dia sebenarnya telah merencanakan masa depannya.  Dia berhasrat melanjutkan studi S2 di salah satu kampus terkenal di Amerika Serikat. Untuk mewujudkan itu, meski belum waktunya menyusun skripsi S1,  dia telah menyelesaikan  bagian Pendahuluannya. Sayang sebuah kecelakaan  yang terjadi  tepat disaat keluarganya asyik menikmati Hari Ulang Tahun ayahnya,   nyawa  Feliks melayang. Tangis kesedihan pun tak terelakkan.  Seorang sahabat  yang akrab, ramah, humoris, bertanggung jawab dan sopan itu berpulang.
Ditinggal mati oleh sahabat  yang sangat dikasihi pasti akan menimbulkan  duka yang dalam. Itu pula yang dirasakan Daud ketika  mendengar kematian sahabat karibnya, Yonatan. Yonatan adalah seorang pangeran, anak Raja Israel, Saul. Sedangkan Daud seorang teruna pemberani, yang sukses membantu Saul menaklukkan  pasukan Filistin yang dipimpin seorang raksasa bernama Goliath. Sama-sama menjadi  pahlawan bagi bangsa Israel, membuat  keduanya  saling mengagumi. Dan  rasa kagum itu berbuah ikatan persahabatan yang tulus dan dalam. Penulis Kitab Samuel menuturkan jiwa keduanya berpadu (saling tertarik) dan saling mengasihi seperti diri sendiri (1 Sam 18:1 dan 3). Persahabatan keduanya pun diikat dengan komitmen untuk saling setia dan melindungi. Ikatan itu bahkan bukan hanya berlaku bagi keduannya, tapi juga bagi keluarga atau keturunan masing-masing (1 Sam. 20:14-17).
Persahabatan mereka diuji, ketika Saul mulai membenci Daud. Yonatan lebih membela kebenaran. Maka Daud dilindungi, meski dia sendiri nyaris mati di tangan ayahnya. Tindakan Yonatan ini tidak lantas membuat dia menjadi anak durhaka terhadap ayahnya.  Karena diakhir hidupnya, dia  mendampingi ayahnya berperang, hingga membuat Yonatan dan Saul  mengalami kematian (1 Sam. 31:2).  Kematian Yonatan  membuat Daud sangat berduka. Duka yang dalam itu, tergambar  lewat sebuah  tulisan (nyanyian)  Daud, yang wajib dinyanyikan bani Yehuda dalam 2 Sam.1:17-27.  
Suatu kali ketika Daud telah menjadi raja Israel, dia terkenang terhadap persahabatannya dengan Yonatan. Dipanggilnya, bekas seorang pelayan Saul, dan ditanyakan soal keberadaan keluarga Yonatan. Alangkah bahagiannya Daud, ketika mengetahui kalau  Yonatan memiliki seorang anak lelaki yang masih hidup. Anak itu bernama Mefiboset (2 Sam.9).   Ketika Saul dan Yonatan tewas dalam perang, Mefiboset yang masih lima tahun diselamatkan oleh pengasuhnya (2  Sam. 4:4). Daud pun menyambut dia sebagai keluarga.
Janji setia untuk  saling melindungi yang pernah terucap antara dirinya dengan Yonatan, diwujudkan Daud dengan memberikan seluruh harta Saul kepada Mefiboset.   Itulah dampak dari persahabatan yang tulus. Daud telah menerima kebaikan  dan pertolongan Yonatan, karenanya hal yang sama dia lakukan terhadap Mefiboset. Nilai-nilai hidup dalam bentuk persahabatan yang tulus yang diteladankan Yonatan,  menjadi warisan berharga bagi Daud. Dan nilai-nilai itu ia pun dia wariskan kepada orang lain. 
Kematian sahabat sejati memang patut dikenang. Bahkan  jika perlu harus melampaui itu, yakni meneruskan apa yang pernah diperjuangkan sahabat yang telah meninggal. 
  Buku dan renungan ‘Dari Paradise ke Eden’, adalah sarana untuk mengenang sahabat seperti Yonatan,  Feliks dan sahabat sejiwa lainnya. Kenangan juga harus berwujud, yakni dalam bentuk perjuangan meraih mimpi dan menggenggam harapan.  Berhenti menangis lalu berjuang, itulah cara yang ampuh untuk menghargai sahabat.
Kematian  Feliks memang  membuat sahabat-sahabatnya menangis dan meratap. Raldi Gultom menangis sambil ingat tanah Papua, padahal dia asalnya dari Medan. Kerry Adriaan juga terbang ke Kalimantan untuk menghilangkan rasa dukanya, padahal rumahnya di Sindulang. Itulah perasaan ketika  ditinggalkan mati oleh teman. (Stenli Lalamentik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar