DARI PARADISE KE
EDEN
(Untuk Teman-Teman Angkatan 98 Fak. Teol. UKIT Tomohon)
Editor buku renungan ini, Bung Denny Pinontoan, berharap setiap renungan yang ditulis harus original, asli karya sendiri. Karenanya pertama-tama saya mohon maaf, sebab judul
renungan ini sama sekali tidak original.
Tepatnya dikutip dari sebuah buku yang
pernah diterbitkan tahun 2002 silam, yang
judulnya persis sama ‘Dari Paradise ke Eden’. Saya memberanikan diri mengutip, karena dua alasan. Pertama, buku itu tidak terkenal, sebab hanya dicetak
satu exlempar. Bahkan saya sendiri lupa,
sumbangan tulisan saya di buku itu seperti apa.
Kedua, karena saya, editor
dan beberapa penulis buku renungan ini, adalah orang-orang yang menulis
buku tidak terkenal itu.
Kepada pembaca saya juga minta maaf, karena
judul renungan ‘Dari Paradise ke Eden’ ini tidak bermaksud membuat semacam
uraian tafsiran singkat yang diambil dari
kitab Kejadian sampai Wahyu. Sama sekali tidak. Karena jika mau menafsir seperti itu, judulnya
harus dibalik, ‘Dari Eden ke Paradise’. Lagi pula, sekali lagi, mungkin
editornya akan tidak setuju (editornya
agak galak), sebab sesingkat-singkatnya tafsiran dari Kitab Kejadian-Wahyu,
pasti membutuhkan halaman yang banyak. Mau bukti? Silakan tanya
mahasiswa Teologi UKIT Angkatan Tahun 1998. Sebagian besar mereka pernah
ditugaskan oleh para dosen, untuk membuat ringkasan Alkitab yang ditulis
tangan.
Meski buku ‘Dari Paradise ke
Eden’ tidak terkenal, tapi buku ini istimewa dan akan selalu dikenang. Buku itu sengaja dibuat untuk didedikasikan kepada seorang sahabat
yang telah meninggal karena sebuah peristiwa
kecelakaan maut di Tomohon. Dengan penuh
rasa hormat dan bangga saya menulis nama beliau, Feliks A.N. Manua, meninggal tanggal 06
September 2002 (tanggal yang sama saat saya mulai menulis renungan ini,
06/09/2012).
Melewati hari bersama Feliks di
kampus dan tempat kost, sungguh merupakan kebanggaan bagi para sahabat.
Karenanya selain melalui air mata, buku itu turut menjadi ‘curahan hati’ betapa
waktu itu kami sangat berduka.
Soal judul buku kenapa ‘Dari
Paradise ke Eden’? Sebenarnya kata
Paradise dan Eden diambil dari dua nama tempat kost, (pemondokan, itu istilah
kami) yakni Paradise di kompleks Bukit Inspirasi Tomohon dan Eden yang
terletak, dibawah Kampus UKIT Bersinar (Bersih, Bersiman dan Bernalar). Dipilihnya Paradise dan Eden, karena yang
satu mewakili tempat kost pria dan yang satunya tempat kost perempuan. Mewakili
berarti, ada banyak tempat kost yang dihuni mahasiswa khususnya angkatan 1998,
seperti Ekklesia, Bahtera, Ekkletos, Pondok Daun, Partenos, Pondok Indah,
Titanic dan sebagainya. Jadi pemilihan Paradise dan Eden sifatnya tidak
eksklusif, tapi sekedar mewakili. Para penulis buku ‘Dari Paradise Ke Eden’ ada
juga yang bukan tinggal di tempat kost ini.
Persahabatan dengan Feliks memang
isitmewa. Dia mampu memecahkan tawa,
ketika suasana sedemikian sunyi, karena dia memang seorang humoris sejati. Dia
tidak gampang marah meski diejek
dalam berbagai cara. Sifatnya yang ramah dan mudah bergaul membuat
ia cepat akrab dengan siapa saja, karenanya waktu meninggal pun ia turut di
ibadatkan secara Katolik oleh beberapa Frater (Mahasiswa STF Pineleng) sebagai
wujud persahabatan dan rasa hormat. Dia bersedia
memberi diri menjadi Ketua Panitia Ibadah Natal Yesus Kristus, di tempat kost,
disaat rekan-rekannya (termasuk saya
enggan dan malas menerima
tanggung jawab itu). Dia juga mau menjadi ketua panitia Ospek saat penerimaan mahasiswa baru di kampus.
Sebagai seorang yang memiliki
cita-cita besar, dia sebenarnya telah merencanakan masa depannya. Dia berhasrat melanjutkan studi S2 di salah
satu kampus terkenal di Amerika Serikat. Untuk mewujudkan itu, meski belum
waktunya menyusun skripsi S1, dia telah
menyelesaikan bagian Pendahuluannya.
Sayang sebuah kecelakaan yang
terjadi tepat disaat keluarganya asyik
menikmati Hari Ulang Tahun ayahnya, nyawa
Feliks melayang. Tangis kesedihan pun tak terelakkan. Seorang sahabat yang akrab, ramah, humoris, bertanggung jawab
dan sopan itu berpulang.
Ditinggal mati oleh sahabat yang sangat dikasihi pasti akan menimbulkan duka yang dalam. Itu pula yang dirasakan Daud
ketika mendengar kematian sahabat
karibnya, Yonatan. Yonatan adalah seorang pangeran, anak Raja Israel, Saul.
Sedangkan Daud seorang teruna pemberani, yang sukses membantu Saul menaklukkan pasukan Filistin yang dipimpin seorang
raksasa bernama Goliath. Sama-sama menjadi
pahlawan bagi bangsa Israel, membuat
keduanya saling mengagumi. Dan rasa kagum itu berbuah ikatan persahabatan
yang tulus dan dalam. Penulis Kitab Samuel menuturkan jiwa keduanya berpadu (saling
tertarik) dan saling mengasihi seperti diri sendiri (1 Sam 18:1 dan 3). Persahabatan
keduanya pun diikat dengan komitmen untuk saling setia dan melindungi. Ikatan
itu bahkan bukan hanya berlaku bagi keduannya, tapi juga bagi keluarga atau
keturunan masing-masing (1 Sam. 20:14-17).
Persahabatan mereka diuji, ketika
Saul mulai membenci Daud. Yonatan lebih membela kebenaran. Maka Daud
dilindungi, meski dia sendiri nyaris mati di tangan ayahnya. Tindakan Yonatan ini
tidak lantas membuat dia menjadi anak durhaka terhadap ayahnya. Karena diakhir hidupnya, dia mendampingi ayahnya berperang, hingga membuat
Yonatan dan Saul mengalami kematian (1
Sam. 31:2). Kematian Yonatan membuat Daud sangat berduka. Duka yang dalam itu,
tergambar lewat sebuah tulisan (nyanyian) Daud, yang wajib dinyanyikan bani Yehuda
dalam 2 Sam.1:17-27.
Suatu kali ketika Daud telah menjadi
raja Israel, dia terkenang terhadap persahabatannya dengan Yonatan.
Dipanggilnya, bekas seorang pelayan Saul, dan ditanyakan soal keberadaan
keluarga Yonatan. Alangkah bahagiannya Daud, ketika mengetahui kalau Yonatan memiliki seorang anak lelaki yang
masih hidup. Anak itu bernama Mefiboset (2 Sam.9). Ketika
Saul dan Yonatan tewas dalam perang, Mefiboset yang masih lima tahun
diselamatkan oleh pengasuhnya (2 Sam.
4:4). Daud pun menyambut dia sebagai keluarga.
Janji setia untuk saling melindungi yang pernah terucap antara dirinya
dengan Yonatan, diwujudkan Daud dengan memberikan seluruh harta Saul kepada
Mefiboset. Itulah dampak dari
persahabatan yang tulus. Daud telah menerima kebaikan dan pertolongan Yonatan, karenanya hal yang
sama dia lakukan terhadap Mefiboset. Nilai-nilai hidup dalam bentuk
persahabatan yang tulus yang diteladankan Yonatan, menjadi warisan berharga bagi Daud. Dan
nilai-nilai itu ia pun dia wariskan kepada orang lain.
Kematian sahabat sejati memang patut
dikenang. Bahkan jika perlu harus
melampaui itu, yakni meneruskan apa yang pernah diperjuangkan sahabat yang
telah meninggal.
Buku
dan renungan ‘Dari Paradise ke Eden’, adalah sarana untuk mengenang sahabat seperti
Yonatan, Feliks dan sahabat sejiwa
lainnya. Kenangan juga harus berwujud, yakni dalam bentuk perjuangan meraih
mimpi dan menggenggam harapan. Berhenti
menangis lalu berjuang, itulah cara yang ampuh untuk menghargai sahabat.
Kematian Feliks memang
membuat sahabat-sahabatnya menangis dan meratap. Raldi Gultom menangis
sambil ingat tanah Papua, padahal dia asalnya dari Medan. Kerry Adriaan juga
terbang ke Kalimantan untuk menghilangkan rasa dukanya, padahal rumahnya di
Sindulang. Itulah perasaan ketika ditinggalkan
mati oleh teman. (Stenli Lalamentik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar